Selasa, 20 Oktober 2015

Jalan Panjang Mengurai Benang Kusut Demokratisasi Desa

Share & Comment
KabarIndonesia - Desa atau masyarakat desa merupakan benteng terakhir dalam menjaga nilai-nilai fundamental kehidupan. Desalah ujung tombak pembangunan. Desalah muara perubahan. Desa pulalah tempat lahir dan berkembangnya generasi masa depan. Dan di desa itulah bangunan keberadaban mulai dijalankan.

Ironi politik dan praktek demokrasi dalam skala makro ialah dinisbikannya nilai-nilai fundamental kehidupan dalam menentukan pilihan politik (political choice) dan berperilaku politik (political behavior). Jika desa sebagai miniatur bangsa juga dijangkiti epidemi itu bukan hanya riwayat nilai (values), norma (norm), etika (ethic) dan agama (religion) yang hilang, melainkan juga nilai-nilai keTuhanan.

Beberapa realitas dibawah ini nampaknya telah menjadi indikasi awal kesimpulan tersebut ; pertama, menghalalkan segala cara. Mengartikan pemilihan pemimpin sebagai arena pertandingan unjuk kekuatan guna meraih kemenangan adalah muara dari buruknya perilaku politik. Dalam pelaksanaan Pilkades, semua calon kepala desa akan menempatkan kemenangan sebagai akhir dari peperangan (the end of war). Sehingga akan memantik perilaku politik yang absurd dan amoral.

Selama kemenangan dapat diraih, apapun caranya akan ditempuh. Sikut kanan-sikut kiri, injak bawah-jilat atas dan fitnah barat-fitnah timur adalah perilaku yang akan ditemui sehari-hari. Perilaku yang hanya dimiliki tukang politik ini bukan hanya tidak sehat melainkan juga merusak tatanan kehidupan bermasyarakat.

Bahkan, akibat menghalalkan segala cara, tidak tertutup kemungkinan kesadaran manusia akan kembali kepada tingkat kesadaran terendahnya, yakni kesadaran magis. Dimana calon pemimpin akan menjadikan hal-hal yang berbau magis dan mistis sebagai bagian dari seni peperangan dalam meraih kemenangan. Dus, dilain sisi, kesadaran naïf dan kesadaran kritis sebagai tingkat tertinggi dalam stratifikasi kesadaran manusia akan dikubur dalam-dalam. Maka, sejak detik itulah Tuhan mulai dialpakan!

Kedua, Menggantungkan kepada patron. Keberadaan patron dalam pelaksanaan Pilkades akan sangat menentukan kemenangan. Keyakinan ini berangkat dari kenyataan bahwa patron-klien ditingkat desa masih sulit untuk dihilangkan. Patron yang termanisfestasikan dalam diri tokoh agama, tokoh masyarakat, juragan, tuan tanah dan tokoh politik desa akan sangat mempengaruhi arah dan dukungan masyarakat luas.

Menggunakan patron sebagai bagian dari strategi peperangan tentu bukan sesuatu yang haram. Justru dengan cara itulah daya kekuatan seorang calon akan semakin tangguh. Tetapi menampilkan patron sebagai satu-satunya kekuatan yang dapat menjamin kemenangan pastilah perilaku yang tidak dapat dibenarkan. Karena berangkat dari titik itulah seorang calon akan mengindahkan patron yang azali dan hakiki, yakni Tuhan.

Kenyataan ini sesungguhnya menjadi lampu merah baik bagi calon kepala desa maupun patron itu sendiri. Melanggengkan perilaku politik demikian sama saja dengan mendistorsi nilai-nilai kultural dan bahkan menghancurleburkan sendi-sendi keTuhanan.

Ketiga, hancurnya hubungan kekerabatan. Pilkades yang diikuti oleh warga desa setempat tentu akan menampilkan calon-calon dari desa itu sendiri. Dengan pola kehidupan masyarakat desa yang kuat hubungan kekeluargaan dalam interaksi sosialnya akan ‘memaksa' sesama saudara terpolarisasi pilihan politiknya dan bahkan mengikuti kompetisi yang sama.

Hubungan kekeluargaan yang terbina ditingkat desa kerapkali hancur akibat momen politik sesaat seperti Pilkades. Gesekan, polarisasi politik, gap, perbedaan pilihan politik akan meluluhlantahkan hubungan kekerabatan dan kekeluargaan yang terjalin. Bahkan dalam beberapa kasus tertentu, dimana calon kepala desanya masih sedarah, hubungan kekeluargaan menjadi sirna tak berbekas akibat Pilkades.

Dalam konteks ini, hanya karena perasaan superioritas, perbedaan pilihan dan syahwat kekuasaan maka putuslah hubungan kekeluargaan dan hubungan darah. Maka tak berlakulah konsep sedarah seperjuangan, bahkan hilanglah konsep sesama muslim adalah saudara.

Keempat, money politic. Sebagaimana kita ketahui bersama, momok utama demokrasi adalah money politic. Praktek transaksional dengan cara jual-beli suara ini akan menjadi pusaran rusaknya kehidupan berbangsa dan beragama. Seseorang yang membeli suara tentu saja menggambarkan tingginya syahwat kekuasaannya. Sedang seseorang yang menjual suaranya sudah barang tentu menukar privilege-nya, independensi, preferensi dan martabatnya sebagai seorang manusia yang merdeka.

Dalam konteks pemilih, tak ada lagi pertimbangan menentukan pilihan kepada kandidat terbaik, bermoral dan berkarakter. Sebaliknya, yang mengapung diotaknya hanyalah berapa nilai nominal suaranya.

Inilah lingkaran setan yang menyebabkan lahirnya pemimpin dan pemilih busuk. Ketika momentum politik, pemilih ramai-ramai menunggu pembeli suaranya. Dan setelah berkuasa, para pemimpin sibuk mengembalikan modalnya dengan cara menjarah uang rakyat. Termasuk menumpuk kekayaan untuk pemilihan masa berikutnya.

Ini pulalah yang disebut uang iblis dimakan setan! Yang tidak kalah pentingnya dan sangat sering terjadi adalah kerjasama antara calon Kepala Desa dengan Panitia Pemilihan setempat dalam hal rekayasa data, mulai dari domisili, ijazah, KTP, atau surat keterangan yang lain. Sebagai contoh soal Pilkades di Desa Tawangrejo, Kecamatan

Gemarang, Kab.Madiun,Prov.Jawa Timur, yang diselenggarakan pada bulan November 2013, menyisakan persoalan pelik dan rumit yang hingga saat ini belum juga ada upaya pemerintah daerah setempat menanganinya dengan serius.

Berawal dari data dan ijazah salah satu kandidat banyak yang dipalsukan, namun demikian kandidat tersebut sangat didukung penuh oleh Panitia dan secara kebetulan pula kandidat tersebut memenangi pertarungan.

Hanya saja karena persoalan data dan ijazah yang sebelumnya Panitia sudah diingatkan oleh kandidat yang satunya bahwa ada dugaan kuat salah satu calon menggunakan data dan ijazah palsu dan Panitia diminta memverifikasinya, agar tidak terjadi persoalan dikelak kemudian hari, setelah pemiilhan Kepala Desa usai.

Namun upaya tersebut tidak digubris oleh Panitia. Setelah pemilihan usai, beberapa warga melaporkan kecurangan ijazah palsu tersebut ke Polisi, akhirnya Kepala desa terpilih di vonis ; 3 bulan pidana, ijazah dinyatakan palsu, dinyatakan bersalah secara syah dan sengaja menggunakan ijazah palsu(tidak terima dan ajukan kasasi untuk mendapatkan putusan bebas murni ke Mahkamah Agung).

Yang menjadi tanda tanya besar dalam permasalahan ini adalah; Status Kepala desa tersebut yang telah dinonaktifkan oleh Bupati Madiun, disisi lain pelanggaran fatal yang dilakukan oleh Kepala desa nonaktif beberapa kali dan terus-menerus dibiarkan saja oleh Bupati, tanpa adanya pemberian sanksi administratif kepada Kepala Desa tersebut.

Bentuk pelanggaran diantaranya; Kepala desa tersebut masih saja dibiarkan bertugas sebagaimana Kepala Desa yang tanpa masalah, membuat surat menyurat memakai kop dan stempel desa, memimpin rapat, menyimpan/memakai stempel desa, menjual tanah kas desa(bengkok).

Beberapa kali warga telah mengadukan ke Sapa Kemendagri dan Mendagri Cahyo Kumolo melalui akun WhatsApp, agar segera ditindaklanjuti dan memperoleh jawaban bahwa masalah tersebut telah disampaikan ke pemkab setempat, namun pada kenyataanya sampai saat ini belum ada tanda-tanda permasalahan tersebut ditangani dengan serius, malahan terkesan diulur-ulur dan dibuat menggantung. Jelas sekali masyarakat luas menjadi korban dan roda pemerintahan desa menjadi pincang.

Pertarungan politik sejatinya ialah kompetisi ide, gagasan dan konsepsi. Sehingga pemenangnya sudah barang tentu akan menjalankan ide, gagasan dan konsepsi yang ia pertarungkan melalui sebuah sarana berupa kekuasaan.

Memaknai pertarungan politik yang demikian akan membingkai perilaku politik yang tidak sehat dan akan melahirkan politisi-politisi sejati yang bermoral, berkeadaban dan bijak. Dan memahami kekuasaan sebagai sarana pengabdian diri akan melahirkan pemimpin yang tau dan mau melayani rakyatnya.

Memang susah dan lelah menjadi politisi yang bermoral dan berkeadaban ditengah-tengah praktek politik yang tidak sehat. Tetapi harus tetap dijalankan walaupun akan terasing ditengah-tengah keramaian.

Kenyataan itu harus tetap diambil walau kekalahan menjadi ancaman. Karena sesungguhnya, tujuan politik yang utama ialah tujuan vertikal, yakni pengabdian kepada Tuhan melalui jalan kekuasaan.

Barulah yang kedua, tujuan politik horizontal, yakni merebut kekuasaan itu sendiri. Mengedepankan tujuan vertikal dalam meraih tujuan horizontal akan menempatkan nilai-nilai keTuhanan sebagai ujung dan pangkal upaya meraih kekuasaan. Sebaliknya, menempatkan tujuan horizontal seraya mengabaikan tujuan vertikal akan mengasingkan sendi-sendi keagamaan dan keTuhanan dalam menggapai kekuasaan.

Calon kepala desa yang mengutamakan tujuan vertikalnya akan menjalankan kampanye dengan damai, meraih simpati rakyat dengan santun dan bertanding dengan patuh terhadap aturan. Dia akan mengambil resiko dianggap sebagai ‘orang gila', sebagaimana kata adagium "ditengah-tengah orang gila, orang yang waraslah yang dianggap gila". (*)



Blog: http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/
Alamat ratron (surat elektronik): redaksi@kabarindonesia.com 
Berita besar hari ini. Kunjungi segera:
http://www.kabarindonesia.com//
Tags: ,

Written by

We are Creative Blogger Theme Wavers which provides user friendly, effective and easy to use themes. Each support has free and providing HD support screen casting.

0 komentar:

Posting Komentar

 

VISI & MISI

-Visi
Karang Taruna merupakan wadah pembinaan dan pengembangan kreatifitas generasi muda yang berkelanjutan untuk menjalin persaudaraan dan rasa kebersamaan menjadi mitra organiasasi lembaga, baik kepemudaan ataupun pemerintah dalam pengembangan kreatifitas. Kemampuan dibidang Kesejahteraan Sosial baik untuk masyarakat dilingkungan sekitar ataupun diwilayah lain.

-Misi
  1. Mengembangkan akhlak budi pekerti yang luhur.
  2. Mempererat tali persaudaran antar pemuda desa.
  3. Mengadakan kegiatan-kegiatan kepemudaan dalam masyarakat.
  4. Turut serta membantu dalam pengabdian masyarakat.
  5. Mengembangkan kreativitas dan bakat pemuda melalui pendidikan dan pelatihan kepemudaan.
  6. Melestarikan nilai-nilai seni dan budaya masyarakat.
  7. Turut membantu dalam menjaga kebersihan dan keindahan lingkungan
  8. Membentuk usaha-usaha yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.


Recent Posts

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Copyright © RIBAHAN | Designed by Templateism.com